Jumat, 16 Juli 2010

hukum wasiat dalam islam

I. PENDAHULUAN
Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai pembagian waris dalam Islam. Terjadinya berbagai sistem atau metode yang digunakan mengakibatkan sebagian kerabat dekat tidak mendapatkan harta warisan dalam pembagian warisan. Sebut saja metode Syi’ah Imamiyah dengan Metode Ahlus Sunnah.
Kedua metode tersebut berbeda cara dalam pembagian harta pusaka. Syi’ah Imamiyah yang tidak membedakan antara kedudukan laki-laki dan perempuan. Sedankan Ahlus Sunnah, dalam pembagian warisan membedakan kedudukan kerabat laki-laki dan perenpuan. Sehingga dalam aplikasinya juga berbeda.
Kehadiran sistem wasiat dalam hukum Islam sangat penting artinya sebagai penangkal kericuan dalam keluarga. Karena ada di antara anggota keluarga yang tidak berhak menerima harta peninggalan dengan jalan warisan. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas mengenai wasiat yang terdapat dalam al-quran serta bagaimana makna yang terkandung di dalamnya.

II. PEMBAHASAN
A. Dalil wasiat
 Surat al-Baqarah 180-181
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ ﴿180﴾ فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُِ إ نَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿181﴾

Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (180). Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (181).

 Surat al-Maidah 106-108
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلَاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلَا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ الْآَثِمِينَ ﴿106﴾ فَإِنْ عُثِرَ عَلَى أَنَّهُمَا اسْتَحَقَّا إِثْمًا فَآَخَرَانِ يَقُومَانِ مَقَامَهُمَا مِنَ الَّذِينَ اسْتَحَقَّ عَلَيْهِمُ الْأَوْلَيَانِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ لَشَهَادَتُنَا أَحَقُّ مِنْ شَهَادَتِهِمَا وَمَا اعْتَدَيْنَا إِنَّا إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ ﴿107﴾ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يَأْتُوا بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهِهَا أَوْ يَخَافُوا أَنْ تُرَدَّ أَيْمَانٌ بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاسْمَعُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴿108﴾
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa" (106). Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: "Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri" (107). Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah. Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (108).

B. Makna Mufradat
الْمَوْتُ : tanda-tanda kematian
إِنْ تَرَكَ خَيْرًا : meninggalkan kebaikan yaitu harta yang banyak
الْوَصِيَّةُ :berwasiat yaitu baris depan sebagai naibul fail dari kutiba dan tempat berkaitnya “idza” jika merupakan dharfiyah, dan menunjukkan hokum wajib jika ia syartiyah dan sebagai jawaban pula dari “in”
حَقًّا :kewajiban merupakan masdar yang memperkuat isi kalimat sebelumnya
شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ :kalimat berita yang bermakna perintah yang artiya kendaklah disaksikan. Mengidzofakan lafadz syahadah kepada lafadz baina menunjukkan makna keluasan memilih.
اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ : oleh dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang selain kamu, dipahami dalam arti bahwa kamu hai kaum beriman. Pemaman ini berawal dari redaksi yang berawal dengan ajakan kepada orang-orang beriman. Ada juga yang memahami dalam arti “ dua orang yang diantara suku atau kabilah kamu, dan jika tidak ditemukan maka dua orang selain suku dan kabilah kamu.”
إِنِ ارْتَبْتُمْ : kalau kamu ragu.
C. Makna Ijmali
• Wasiat wajibah harus dilakukan oleh seseorang terhadap kerabatnya yang tidak berhak menerima pusaka karena adanya penghalang seperti wasiat untuk cucu lantaran ayahnya lebih dahulu meninggal.
• Kepada washi (pengurus wasiat) dan saksi supaya jangan mengubah wasiat dan kepada yang berwasiat sendiri agar tidak membuat wasiat untuk orang lain dan mengabaikan keluarga sendiri.
• Ayat ini berbicara mengenai saksi bagi orang yang ingin berwasiat yaitu dua orang laki-laki yang adil dari kamu (orang mukmin) sebagai saksi atas wasiatnya serta bagi orang yang berpergian sedangkan dalam dirinya sudah terdapat tanda-tanda kematian maka saksi bisa dari orang lain (selain muslim).
• Jika kedua orang yang diangkat menjadi saksi terhadap wasiat dan diserahkan kepadanya harta untuk disampaikan kepada para pewaris, sedangkan keduanya pun dipercayai mereka dengan idak bersumpah, maka persoalan waris tidak perlu diragukan. Tetapi jika ada keraguan, maka hendaklah kedua saksi tersebut ditahan agar tidak kemana sampai sembayang ashar kemuadian dilakukan sumpah.
• Jika kedua saksi yang telah bersumpah itu dengan bersumpah curang dan berhianat dengan menyembunyikan sebagian harta, maka hendaklahsumpah itu dikembalikan kepada para waris yaitu dua orang waris yang terdekat untuk disumpah.
D. Munasabah al-ayat
Salah satu munasabah dari ayat ini adalah terdapat dalam surat al-baqarah ayat 180-182. Dalam ayat sebelumnya telah dijelaskan mengenai wasiat wajibah kepada kerabat dekat yang tidak mendapat harta warisan, dan dilarangnya washi untuk merubah isi wasiat serta diperbolehkan merubahnya jika perubahan itu membawa kepada kebaikan. Selain itu, munasabah dari ayat ini terdapat dalam surat al-maidah ayat 106-108. Dalam ayat ini menjelaskan tentang perlunya dua orang saksi ketika seseorang ingin berwasiat, saksi bisa dari orang muslim atau bukan muslim jika dalam berpergian, dan jika saksi itu berlaku curang terhadap sumpah yang mereka lakukan, maka bisa dari kerabatnya diambil sumpah.
E. Asbab al-Nuzul (al-Maidah : 106-107)
Sejumlah riwayat yang dikemukakan oleh ahli asbabun nuzul ayat ini, walau berbeda tapi intinya sama. Pada suatu kali pergilah Budail Maula Amar ibn Ash membawa barang dagangan ke madinah. Di kota itu, ia berjumpa Tamim dan Adi, dua orang Nasrani yang tinggal di Mekkah, lalu mereka pun bersama-sama pergi ke Syam (Suriah).
Di tengah perjalanan, Budail menderita sakit, lalu dia menulis surat wasiat dan dia masukkan ke dalam barang-barang dagangan miliknya. Kepada kawan-kawannya dia berwasiat supaya menyampaikan barang dagangan miliknya kepada keluarganya. Budail pun meninggal dalam perjalanan.
Sebelum barang diterima para ahli waris, Tamim dan Adi membuka ikatan barang-barang tersebut dan mengambil sebagiannya. Setelah itu barang dibungkus kembali dan kemudian diserahkan kepada keluarga Budail, yang tentu saja tidak utuh lagi.
Keluarga Budail terkejut ketika bungkusan dibuka jumlah barang tidak sesuai dengan isi surat wasiat, yang juga diletakkan dalam bungkusan tanpa diketahui kawan almarhum yang dititipi. Para ahli waris pun kepada mereka yang menyerahkan barang titipan tersebut. Tetapi mereka yang dititipi mengatakan itulah barang-barang yang mereka terima. Mereka mengaku tidak tahu barang dalam bungkusan berkurang. Keluarga Budail mengatakan jumlah barang tidak sesuai dengan isi surat wasiat. Untuk menyelesaikan hal itu, akhirnya mereka mengadu kepada Nabi. Tidak lama kemudian turunlah ayat ini. Nabi kemudian menyuruh dua teman almarhum atau saksi tersebut bersumpah dengan nama Allah setelah sembayang ashar bahwa itulah barang yang mereka terima.
Beberapa lama kemudian, pada mereka ditemukan suatu bejana perak yang disadur dengan emas. Berkatalah keluarga Budail : “ini adalah benda milik Budail.”
Tamim dan Adi tidak bisa mengelak. Mereka pun mengakui tuduhan keluarga Budail. Jawabnya: “benar benda itu kepunyaan almarhum, tetapi sudah kami beli dan kami lupa menyebutkan pada waktu mengangkat sumpah.” Keluarga Budail kembali mengadu kepada Nabi. Setelah perkara itu disampaikan kepada nabi untuk kedua kalinya, maka turunlah ayat 107 ini. Nabi kemudian memerintah dua orang dari keluarga Budail tersebut bersumpah bahwa kedua orang itu telah menyembunyikan barang milik budail.
Setelah kejadian ini, Tamim ad-Dari memeluk islam serta membaiatkan diri kepada Nabi. Ketika itulah dia mengaku dengan terus terang telah mengambil bejana milik almarhum bersama kawannya.
F. Analisis kandungan hukum
Dalam surat al-maidah ayat 106 menyebutkan dengan seruan wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi tanda-tanda dekatnya kematian sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua orang artinya yang menyaksikan wasiat itu adalah dua orang (yang adil di antara kamu) artinya di antara orang muslim. Ini adalah pendapat jumhurang yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Sedangkan pendapat yang lainnya yang diriwayatkan oleh Ikrimah, Ubaidah dan Uddah yaitu di antara orang-orang yang berwasiat. “atau dua orang yang berlainan agama dari kamu” artinya dari selain orang-orang Islam yaitu Ahli Kitab. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan sekelompok tabi’in. Juga dikatakan dari selain kabilah orang yang berwasiat. Pendapat Ikrimah. Adapun yang kuat adalah pendapat yang pertama.
“Dan jika kamu dalam perjalanan di muka bumi ” artinya berpergian, “maka kematian datang menjelang kamu ” dua hal ini merupakan syarat dibolehkannya kesaksian dzimmy ketika mukmin tidak ada, yaitu ketika dalam perjalanan danurusannya adalah wasiat. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Syuraih serta Imam Ahmad dan ini merupakan pendapat beliau sendiri. Sedangkan Imam tiga lagi mengatakan tidak dibenarkan kesaksian orang dzimmy terhadap orang muslim.
“kamu tahan kedua saksi itu setelah shalat (uuntuk bersumpah)” yaitu shalat ashar, ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan sekelompok orang dari tabi’in. Zuhry berkata “shalatnya orang-orang muslim” maksudnya kedua saksi ini bersaksi setelah shalat di mana manusia berkumpul pada waktu itu. “maka keduanya bersumpah demi Allah” artinya keduanya bersumpah kepada Allah “jika kamu ragu” artinya tampak oleh kamu dari keduanya keraguan bahwasanya keduanya berhianat atau curang, maka keduanya bersumpah waktu itu kepada Allah. berkata : demi Allah kami tidak akan menukarnya yakni kandungan sumpah kami ini dengan harga sebanyak apapun karena ia pada hakikatnya adalah harga yang sedikit walaupaun penukaran itu untuk kepentingan karib kerabat , dan kami tidak pula menyembuyikan persaksian Allah yakni sumpah kami tidak akan mengandung perubahan terhadap apa yang diperintahkan Allah terhadap apa yang akan dipersaksikan, sesungguhya kalau kami demikaian yakni menyembunyikan atau mengubahnya maka termasuklah kami pendosa-pendosa.
Thahir Ibn ‘Asyur menpunyai pendapat lain menyangkut kata ( إِنِ ارْتَبْتُمْ ) kalau kamu ragu, kata ini menurutnya merupakan kata yang diucapkan oleh saksi, dia mengucapkan bahwa “ kalau kamu ragu kebenaran kesaksian kami, maka kami bersumpah demi Allah, bahwa kami tidak akan menukar dengan harga yang sedikit walaupun untuk kepentian karib kerabat.” Ini untuk menenangkan para pemilik hak. Menurut Ibn ‘Asyur, kesaksian pada dasarnya, hendaknya dipercayakan walaupun kemungkinan bohong tetap ada. Untuk menghindari kemungkinan itu maka dipelukan sumpah. Di sisi lain, pemahaman seperti ini tidak akan memojokkan siapapun yang menjadi saksi, karena ia berlaku dan diucapkan oleh semua yang menyampaikan kesaksian, berbeda jika sumpah tersebut hanya dimintakan kepada yang diragukan.
Kata kamu dalam ayat diatas, oleh dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang selain kamu, dipahami dalam arti bahwa kamu hai kaum beriman. Pemaman ini berawal dari redaksi yaitu ajakan kepada orang-orang beriman. Ada juga yang memahami dalam arti “ dua orang yang diantara suku atau kabilah kamu, dan jika tidak ditemukan maka dua orang selain suku dan kabilah kamu.” Agaknya pendapat kedua ini enggan menerima pendapat non-muslim terhadap orang-orang Islam. Para ulama berbeda pendapat kesaksian non-Muslim terhadap Muslim, yang menolak kesaksian non-Muslim menilai bahwa penggalan ayat diatas yang membolehkan kesaksian yang dimaksud telah dibatalkan hukumnya menurut ayat lain yang memerintahkan untuk mempersaksikan saksi yang diridhai oleh umat Islam (al-Baqarah, 282). Ini adalah pendapat Malik, Ibn Hanifah, dan Imam Assyafi’i.
Pendapat yang menyatakan bahwa pendapat diatas telah dibatalkan hukumnya tidak disetujui oleh banyak ulama, apalagi surat al-Maidah merupakan surat terakhir yang diterima oleh Rasulullah SAW. Atas dasar tersebut banyak ulama yang berpendapat bahwa kesaksian non-Muslim terhadap Muslim dapat dibenarkan apalagi dalam keadaan darurat.
Ayat 106, selanjutnya ayat ini memberikan tuntunan jika ternyata oleh pengusa atau ahli waris dinyatakan behwa kedua orang yang bersumpah sebelumnya berbohong, yakni jika ditemukan secara sengaja atau kebetulan bahwa keduanya, berbuat dosa, dengan berbohong dalam hal persaksian mereka, maka dua orang yang lain, yaitu dua orang diantara ahli waris yang berhak dan yang lebih dekat kepada yang meninggal untuk menempati tempat keduanya yang ditemukan berbuat dosa itu. Kedua orang ini memajukan tuntutan, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: sesungguhnya persaksian kami yakni sumpah kami yang berbeda kandungannya dengan kedua orang sebelum kami lebih haq yaitu lebih diterima dari pada kedua saksi itu. Karena persaksian mereka hanya secara lahiriyah dan fomal maka kesaksian kami secara lahir batin, formal dan material kesemuanya sesuai dengan kenyataan dan kami dengan sumpah kami tidak melanggar batas, tidak mengada-ada dengan menufuh bahwa kedua saksi lalu berbohong dalam sumpah ataupun kesaksian mereka, sungguh kami kalau demikian, yakni melampaui batas dan mengada-ada tentulah kami termasuk orang-orang yang zalim yang menganiaya diri sendiri dan menganiaya orang lain.
Ayat 108, setelah menjelaskan ketentuan diatas ayat ini menjelaskan hikmah dari ketentuan tersebut, yakni bahwa ketentuan hukum tentang wasiat dalam perjalanan dimana terjadi kematian. Firman-Nya “ menjadikan mereka mengemukakan kesaksian sesuai keadaanya, adalah penjelasan hikmah perintah bersumpah setelah shalat, sedangkan pada firman-Nya “takut akan dikembalikan sumpahnya, adalah hikmah dari sumpah yang diperintahkan kepada ahli waris untuk menunjukkan kebohongan sumpah kedua saksi terdahulu.
Ayat ini menekankan perlunya setiap orang menulis wasiatnya, dan bahwa wasiat sebaiknya dipersaksikan, karena dengan adanya wasiat tertulis, apabila dipersaksikan, maka akan banyak sengketa yang dapat dihindari.
Ayat ini juga mengisaratkan pengukuhan sumpah dengan memilih waktu-waktu tertentu. Dalam ayat ini adalah setalah shalat. Rasulullah SAW, melaksanakanya setelah shalat Ashar. Pengukuhan itu juga dapat dilakukan dengan memilih tempat tertentu. Dalam hal ini Rasulullah bersabda “tidak seorang pun bersumpah di mimbarku dengan sumpah palsu, kecuali telah mengambil tempatnya di neraka.” (HR Malik, Ahmad, dan Abu Daud). Pengukuhan sumpah dapat juga dilakukan dengan mengulang-ulangi sumpah, sejalan dengan pengulangan sumpah dalam redaksi persaksian dalam menuduh istri berzina atau menolak tuduhan itu dari pihak istri (baca Qs. an-Nur: 5-10). Kini telah banyak kita temui pengukuhan sumpah dengan meletakkan al-Qur’an diatas kepala, walaupun itu tidak dikenal pada masa Rasulullah karena balum dibukukannya al-Qur’an.

III. KESIMPULAN
• Ayat ini menekankan perlunya setiap orang menulis wasiatnya, dan bahwa wasiat sebaiknya dipersaksikan, karena dengan adanya wasiat tertulis, apabila dipersaksikan, maka akan banyak sengketa yang dapat dihindari.
• Ayat ini juga mengisaratkan pengukuhan sumpah dengan memilih waktu-waktu tertentu serta tempat-tempat tertentu.

IV. PENUTUP
Demikianlah ulasan dari makalah ini. Kami sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh kerena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang konstrutif dari pembaca untuk koreksi serta kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan wacana kkeilmuan baru, khususnya masalah tentang wasiat dan dapat memberikan manfaat, Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib, 1999, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jil 2 (Jakarta: Gema Insane Press)
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 2002, Al-Bayan Tafsir Penjelas Al-Quranul Karim jil I, (Semarang: Pustaka Rizki Putra)
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 2000, Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur jil 2, (Semarang: Pustaka Rizki Putra)
Muhammad, Jalaluddin, Tafsir Al-Quran Al-Adzim jil 1, (Semarang: Daarul Ilmi,)
Rofiq, Ahmad. 2001, Fiqh Mawaris Edisi Revisi, cet 4 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada)
Shihab, Muhammad Quraish, 2002, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan Dan Keserasian Dalam Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati)

berdirinya kerajaan Safawi di persia

Sejarah Berdirinya Kerajaan Safawi.
Peradaban Islam mulai bekembang di Persia sejak dinasti Abbasyiah di Baghdad mengalami kemunduran. Namun demikian, perkembangan peradaban Islam waktu itu, masih sebatas permulaan. Akan tetapi, perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai sejak berdirinya kerajaan Safawi. kerajaan safawi di Persia baru berdiri Ketika kerajaan usmani sudah mencapai puncak kemajuannya. Kerajaan ini berkembang begitu cepat. Dalam perkembangannya, kerajaan safawi sering bentrok dengan turki usmani.
Berbeda dari dua kerajaan besar Islam lainnya (Usmani dan Mughol), kerajaan Safawi menyatakan Syi’ah sebagai mazhab negara. Hal ini dikarenakan pemimpin pertama kerajaan Safawi yaitu Isma’il (1487-1524) menyatakan bahwa dirinya adalah sebagai sang imam tersembunyi, sebagai reingkarnasi dari Ali, dan sebagai simbul wujud dari ketuhanan. Oleh karena itu, kerajaan ini dapat dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini.
Embrio lahirnya kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan Thariqat Safawiyah di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Thariqat tersebut sebagaimana namanya didirikan oleh Syaikh Safi Al-Din Ishak Al-Ardabily (1252-1334 M). Seorang sufi sunni yang menjadi guru agama yang lahir dari sebuah keluarga Kurdi di Iran Utara.
Safi Al-Din berasal dari keturunan keluarga yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari imam syi’ah yang keenam, Musa Al-Khazim. Gurunya benama Syaikh Taj Al-Din Ibrahim Jahidi (1216-1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, beliau diambil menantu oleh gurunya sendiri.
Safi Al-Din mendirikan Thariqat Safawiyah setelah menggantikan guru yang sekaligus mertuanya (w. 1301 M). Dikarenakan pengikutnya sangat teguh memegang ajaran agama, Thariqat Safawiyah memiliki tujuan untuk memerangi orang-orang ingkar dan para ahli bid’ah. Perubahan bentuk Thariqat yang mulanya pengajian tasawuf murni menjadi sebuah gerakan keagamaan menjadikan gerakan ini semakin penting. Gerakan keagamaan tersebut mempunyai pengaruh besar di Persia, Syria, dan Anatolia yang dikepalai para mursyid. Sedangkan di luar negeri Ardabil, ia menempatkan seorang wakil untuk memimpin murid-muridnya dengan gelar khalifah.
Pada masa kepemimpinan Sadr al-Din (1334-1391) Putra Safi Al-Din. Tharikat Safawiyah menjadi sebuah organisasi yang secara politik dan hirarkis sangat sensitif, dan cukup kaya. Ia adalah seorang pemimpin thariqat yang pertama kali mengklaim sebagai keturunan Nabi. Ia menyebarkan keluarganya di Ardabil, melengkapi mereka dengan pendidikan dan tempat tinggal, serta memperluas kegiatan pergerakan misionarinya. Ia mengorganisir hirarki para mursyid dan para khalifah, serta mengepalai para misionari, asisten, murid, dan anggota.
Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya sering menimbulkan keinginan di kalangan para penganutnya untuk berkuasa. Karena itu, lama-kelamaan Tharikat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik, dalam kepercayaan, dan menentang setiap orang yang bermazhab syiah. Terbukti dengan adanya beberapa peperangan melawan Kristen segera dialihkan untuk melawan beberapa negara muslim yang tengah berdiri pada saat itu, yang mana ia mengklaim sebagai rezim-rezim kafir.
Dalam dekade 1447 – 1501 M atau pada abad kelima belas, Gerakan Safawiyah dengan cerdiknya memanfaatkan kesempatan atas hancurnya rezim Timuriyah dan berakhirnya konflik kesukuan dengan mengalikan kegiatan misionari kepada sikap militan. Sehingga gerakan safawi pada saat itu menjadi sebuah kekuatan politik yang sangat berpengaruh di bagian Barat Laut Iran, dan bagian Timur Anatolia.
Seperti mendapatkan angin segar, gerakan militan Safawi berwujud konkrit pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460), seorang mursyid pertama yang menekankan pentingnya jihad. Dinasti safawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara junaed dengan Kara Konyulu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik tersebut, junaed kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapat pelindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Konyulu (domba putih), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia.
Selama dalam pengasingan, junaed tidak tinggal diam. Ia mala dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M junaed mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M ia mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Kebijakan safawiyah yang lebih militan bergatung kepada rekruitmen secara aktif terhadap sejumlah individu dari dan terhadap kepala-kepala suku dan uymaq. Selain itu Syaikh Junaed bergabung dengan sejumlah keluarga penguasa lokal untuk membentuk persekuatuan militer dan untuk merekrut seluruh suku untuk mendukung pihaknya. Orang yang direkrut dinamakan Qizilbash, sebuah nama yang berasal dari nama baret merahnya yang khas, yang menegaskan bahwasanya mereka pengikut dan pejuang setia gerakan safawiyah.
Kepemimpinan Juneid kemudian dilanjutkan Haidar yang masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu kepemimpinan gerakan diserahkan padanya secara resmi pada tahun 1470 M. hubungan Haidar dan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang putri Uzun Hasan. Dari perkawian ini lahirlah Ismail yang di kemudian hari menjadi pendiri kerajaan safawi di Persia.
Kemenangan AK Konyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Konyunlu membuat gerakan militer yang dipimpin oleh Haidar dianggap sebagai rifal politik yang dapat menghalaginya dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Terbukti mereka mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan yang diserang oleh pasukan Safawi. Sehingga pasukan pasukan Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan tersebut.
Ali (putra dan pengganti Haidar), karena desakan dari bala tentaranya berusaha menuntut balas atas kematian ayahnya terhadap AK Koyunlu. Tetapi Ya’kub pimpinan AK Koyunlu berhasil menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya Ibrahim dan Ismail, serta ibunya di Fars selama empat setengah tahun (1489-1493). Mereka dibebaskan oleh Rustam (putra mahkota AK Koyunlu) dengan syarat bersedia membantu memerangi saudara sepupunya. Setelah syarat tersebut terpenuhi, Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara di Ardabil. Ali terbunuh dalam serangan tersebut.
Kepemimpinan gerakan safawi selanjutnya berada di tangan Ismail yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail dan pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria, dan Anatolia. Pasukan ini bernama Qizilbash. Pada pasukan Qizilbash ini topinya dilengkapi dengan 12 rumbai yang memiliki makna Syi'ah Isna 'Asyariyah (Dua Belas Imam) mempunyai pengaruh yang besar dalam menanamkan sifat fanatisme dan militansi para pengikut Syi'ah dengan pemimpinnya.
Di bawah pimpinan Ismail pada tahun 1501 M, pasukan qizilbash menyerang dan mengalakan AK Koyunlu di Sharur, dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibu kota AK Koyunlu dan berhasil merebut serta mendudukinya. Di kota ini ismail memproklamasikan berdirinya kerajaan safawi dengan dirinya sebagai raja pertama dinasti safawi dan menetapkan Syi'ah Dua Belas sebagai agama resmi kerajaan Safawi. Ia disebut juga ismail I.
Dengan diproklamasikannya kerajaan Safawi sebagai kerajaan dan ditetapkan pula Syi'ah sebagai agama kerajaan maka merdekalah Persia dari pengaruh dari kerajaan Usmani dan kekuatan asing lainnya.







DAFTAR PUSTAKA

Hamka, 1981, Sejarah Umat Islam, Jilid III, Cet. IV (Jakarta: Bulan Bintang)
Lapidus, Ira M. 1999, A History of Islamic Society, penerjemah Gufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam, Ed. I. Cet I (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada)
Mahmudunnasir, Syed, 2005, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Cet IV (Bandung: PT Remaja Rosdakarya)
Yatim, Badri, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Cet I (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada)
http//www.sejarahperadabanislam/safawi/kerajaan_safawi.com/

putusnya perkawinan

A. Pendahuluan
Perceraian diibaratkan seperti sebuah pembedahan yang menyakitkan. Manusia yang berakal harus menahan rasa sakit akibat dari luka perceraian. Dia bahkan sanggup diamputasi untuk menyelematkan bagian tubuh lainnya sehingga tidak terkena luka atau infeksi yang lebih parah. Jika perselesihan antara suami dan istri tidak juga reda, dan jalan rujuk (berdamai kembali) tidak dapat ditempuh, maka perceraian adalah jalan yang menyakitkan yang harus dijalani.
Islam tidak menetapkan hukum perceraian melainkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan suami-istri serta kehidupan keluarga dan masyarakat.
Dari pendahuluan di atas membuat penulis tertarik untuk menjelaskan secara terperinci tentang putusnya perkawinan, sehingga perceraian tidak dilakukan seenak diri sendiri.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan penulis paparkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Sebab putusnya perkawinan
b. Hukum talak
c. Orang yang berhak menjatukan talak
d. Prosedur pengajuan talak

C. Pembahasan
a) Sebab Putusnya Perkawinan
Pada dasarnya sebuah perkawinan yang dilakukan bertujuan untuk selama-lamanya. Tetapi ada beberapa sebab tertentu yang mengakibatkan ikatan perkawinan yang dijalani antara suami dan istri tidak dapat diteruskan.
Ditinjau dari pandangan Hukum Islam, putusnya sebuah perkawinan dikarenakan antara lain (a) kematian (b) talak (perceraian) dan, (c) fasakh. Dan sebagainya yang berhubungan dengan perceraian.
Kematian suami atau istri dapat mengakibatkan sebuah perkawinan putus dengan sendirinya yaitu terbilang sejak terjadinya kematian. Adapun bagi Istri yang ditinggal mati oleh suaminya harus menjalani masa berkabung (iddah) selama 4 bulan 10 hari. Sedangkan putusnya sebuah perkawinan dengan jalan fasakh yaitu merusak atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung. Hal ini dapat disebabkan dua hal. Yaitu:
 Adanya hal-hal yang dapat membatalkan akad nikah yang telah dilakukan. Misalnya : antara suami dan istri ternyata saudara susuan.
 Karena terjadi hal yang baru setelah akad nikah. misalnya salah satu dari suami atau istri keluar dari agama Islam (murtad).
Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), masalah perkawinan telah dijelaskan secara terperinci dalam buku 1 yaitu tentang Hukum Perkawinan. Sedangkan putusnya perkawinan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 113 (KHI) dikatakan bahwa sebuah perkawinan dapat putus karena tiga hal yaitu (a) kematian, (b) perceraian dan (c) atas putusan pengadilan.
Putusnya sebuah perkawinan yang disebabkan oleh perceraian dapat terjadi kerena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Hal ini dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 114. Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti melepaskan suatu ikatan atau membatalkan suatu perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari berkumpul). Kemudian para ahli Figh memakai kedua istilah tersebut sebagai satu istilah, yang mempunyai arti perceraian antara suami-isteri.
Maksud dari definisi talak yaitu melepaskan suatu ikatan perkawinan adalah Apabila dalam rumah tangga hubungan yang terjadi antara suami dan istri tidak mencapai tujuan dari pernikahan itu sendiri, yakni membentuk rumah tangga yang harmonis dan bahagia misalnya suami atau istri tidak menjalankan kewajiban atau salah satu diantara mereka menyeleweng sehingga tidak ada kecocokan lagi dan tidak dapat didamaikan maka jalan keluar satu-satunya ialah talak atau perceraian.
Suatu peceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak yaitu istri dan suami. Adapun alasan-alasan dapat dilakukan perceraian tercantum dalam pasal 116 diantaranya adalah:
 Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sembagainya yang sukar disembunyikan.
 Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
 Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
 Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihak yang lain.
 Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakitt dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
 Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
 Suami melanggar taklik-talak
 Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

b) Hukum Talak
Talak merupakan jalan yang disyariatkan dalam agama islam, namun menjatuhkan talak tanpa sebab sangat dibenci Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحِمْصِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ الْوَصَّافِىِّ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ الطَّلاَق.

artinya : “Dari Ibnu Umar, katanya, telah bersabda Rasulullah SAW, Sesuatu yang halal namun amat dibenci Allah ialah talak.” (HR. Ibnu Majjah).

Berdasarkan kemashlahatan atau kemudaratannya, hukum talak itu ada empat, yaitu:
a. Wajib menurut madzab Hambali yaitu talak yang bertujuan untuk mengakhiri konflik yang terjadi antara suami dan istri, jika masing-masing melihat bahwa talak adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri perselisihan atau dapat pula dikatakan talak yang bertujuan untuk mengahiri syiqaq, apabila kedua-dua hakam berpendapat bahwa talak itulah yang harus dilakukan. Misal antara suami dan istri terjadi perselisihan dan hakim memandang perlu keduanya untuk bercerai atau suami tidak mampu untuk memenuhi hak-hak istri sebagaimana mestinya.
b. Talak Sunah diperbolehkan apabila bertujuan untuk menghindari bahaya yang mengancam salah satu pihak baik itu suami maupun istri. Maksunya apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya atau istri tidak menjaga kehormatannya.
c. Haram yaitu talak bid’y (talak bid’ah). Talak yang dilakukan bukan karena adanya tuntutan yang dapat dibenarkan, karena hal itu akan membawa madharat bagi diri sang suami dan juga istrinya serta tidak member kebaikan bagi keduanya. Misalnya apabila suami ketika menjatuhkan talak, si istri dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci tapi telah dicampurinya.
d. Makruh apabila tidak dengan alasan yang dibenarkan oleh syara’.
Adapun talak mubah diperbolehkan apabila seorang suami tidak membutuhi istri dan mereka keberatan pula memikul belanja istri sedang maksud istimna pun tidak ada. Dalam hal ini, Imamul Haramaini tidak memakruhkan, sedangkan menurut An-Nawawy talak mubah tidak ada.

c) Hak menjatukan Talak
Hukum Islam menentukan bahwa hak talak sepenuhnya ada pada suami. Alasannya pada umumnya seorang laki-laki atau suami lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada seorang wanita atau istri yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan mempertimbangan hal-hal tersebut, diharapkan suatu perceraian terjadi akan lebih kecil kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri.

Di samping alasan-alasan tersebut, ada beberapa alasan lain yang memberikan wewenang atau hak talak pada suami, antara lain:
a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri waktu dilaksanakan akad nikah.
b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan dianjurkan membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada isterinya) setelah suami mentalak isterinya.
c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia mentalaknya.
d. Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan pada suami.
Seperti yang telah kita ketahui, pada dasarnya talak adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan atau dibenarkan, maka seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut bisa terdapat pada diri suami, isteri, dan sighat talak.
a. Syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talak ialah:
 Berakal sehat, dalam menjatuhkan talak seorang suami tersebut harus dalam keadaan berakal sehat, apabila akalnya sedang terganggu. Misalnya: orang yang sedang mabuk atau orang yang sedang marah tidak boleh menjatuhkan talak.
 Telah baliqh, para ahli Fiqh sepakat bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talak ialah telah dewasa atau baliqh.
 Tidak karena paksaan, seorang suami dalam menjatuhkan talak berdasarkan atas kehendak sendiri bukan karena terpaksa atau ada paksaan dari pihak ketiga.
b. Syarat-syarat seorang isteri supaya sah ditalak suaminya ialah:
 Isteri telah terikat dengan perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila akad-nikahnya diragukan kesahannya, maka isteri itu tidak dapat ditalak oleh suaminya.
 Isteri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya dalam waktu suci itu.
 Isteri yang sedang dalam keadaan hamil.
c. Syarat-syarat pada sighat talak
Sighat talak ialah perkataan atau ucapan yang diucapkan oleh suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak pada isterinya. Sighat talak ini ada yang diucapkan langsung, seperti “saya jatuhkan talak saya satu kepadamu”. Adapula yang diucapkan secara sindiran (kinayah), seperti “kembalilah ke orang tuamu” atau “engkau telah aku lepaskan daripadaku”. Ini dinyatakan sah apabila:
 Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talak pada isterinya.
 Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan talak kepada isterinya. Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan talak kepada isterinya maka sighat talak yang demikian tadi tidak sah hukumnya.
Mengenai saat jatuhnya talak, ada yang jatuh pada saat suami mengucapkan sighat talak (talak “munziz”) dan ada yang jatuh setelah syarat-syarat dalam sighat talak terpenuhi (talak “muallaq”)

d) Prosedur Pengajuan Talak
Seorang suami yang ingin mengajukan talak, maka harus mematuhi prsedur pengajuan talak. Adapun prosedur pengajuan talak dijelaskan dalam KHI pasal 129 dan 131 yaitu:
a. Seorang suami yang akan menjatukan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
b. Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan yang dimaksud oleh pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatukan talak.
c. Setelah pengadilan agama tidak bisa menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatukan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan agama menjatukan keputusannya tentang izin bagi suami mengikrarkan talak.
d. Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan agama yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.
e. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo enam bulan terhitung sejak putusan pengadilan agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
f. Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isrti. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikiramkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.





D. Kesimpulan
Dari penjelasan yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya Putusnya perkawinan menurut hukum islam disebabkan karena kematian, talak dan fasakh. Sedangkan menurut KHI disebabkan karena kematian, talak (perceraian) dan putusan pengadilan.
Secara syariat agama perceraian diperbolehkan namun syara’ juga memberikan batasan yang ketat agar perceraian tidak menjadi hal yang begitu mudah dilakukan. Oleh karena itu perceraian menjadi sebuah ultimatum remindium (solusi terakhir) dalam pengambilan sebuah keputusan. Hal ini dimaksudkan agar suatu ikatan perkawinan yang suci tidak disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dalam proses perceraian, hak talak dimiliki oleh si suami dengan alasan seorang laki-laki dalam mengambil keputusan lebih mengutamakan logikanya dibandingkan dengan si istri yang dalam bertindak lebih mengedepankan emosinya.

E. Penutup
Demikianlah makalah ini penulis hadirkan kepada pembaca yang budiman. Tentunya dalam makalah ini masih banyak kekurangan baik isi maupun penulisannya. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sebagai evaluasi untuk perbaikan makalah selanjutnya.









DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Moh, 1979, Fiqh Islam Muamalah, Munakahat, Faraid & Jinayah (Hukum Perdata & Pidana Islam) Beserta Kaidah-Kaidah Hukunya, Cet I. Bandung: Al-Maarif
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 2001, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 8, cet III. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Maajah dan Abu Abdullah Muhammad, Sunan Ibnu Maajah Juz 6 (Mesir: Mauqi’u wa zaarah al-Auqaaf) tt,
Qaradhawi , Yusuf, 2007, Fiqh Wanita Segala Hal Mengenai Wanita, cet II Bandung: Jabal
Uwaidah, Kamil Muhammad, 2008, Fiqh Wanita Edisi Lengkap, Cet I (akarta Timur: Pustaka Al-Kautsar
Kompilasi Hukum Islam Indonesia Undang-Undang Repoblik Indonesia No 1 Tahun 1974 tantang Perkawinan dan Penjelasannya. cet 1, diterbitkan oleh Trinity, 200
http://ardychandra.wordpress.com/2008/09/06/putusnya-perkawinan-berdasarkan-hukum-islam/senin, senin 3 mei 2010
http://www.small2law.co.cc/2010/04/pengertian-putusnya-perkawinan.html, senin, 3 mei 2010
http://listianash.wordpress.com/2009/09/06/putusnya-perkawinan, Selasa 20 April 2010

law and social change

BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini, Proses perubahan masyarakat (social change) merupakan suatu gejala yang normal. Pengaruhnya dapat menjalar dengan cepat kebagian-bagian lain dari dunia. Komunikasi modern dengan taraf teknologi yang berkembang dengan pesatnya, terjadinya revolusi, modernisasi pendidikan, dll merupakan fakor yang mempengarui terjadinya social change.
Salah satu paradoks utama yang terdapat pada setiap sistem hukum adalah bahwa sistem tersebut di satu pihak tampaknya begitu penting dalam pemaksaan keputusan yang ditujukan kepada struktur hubungan sosial, namun di pihak lain tetap tergantung kekuaatan-kekuatan di luar jangkauan pengawasannya secara langsung untuk dapat diterima dan diterapkannya keputusan-keputusan tersebut. Status khas hukum dan lembaga hukum ini menimbulkan tuntutan yang berlebihan tentang akibatnya terhadap perubahan sosial, maupun pernyataan-pernyataan yang tidak realitis bahwa setiap sistem hukum hanya mengikuti serta menunjang proses-proses yang pada dasarnya terjadi dalam kehidupan sosial dan politik yang lebih luas.
Susunan dan bekerjanya sistem hukum sangat dipengarui oleh perjuangan untuk memperoleh kontrol dan pengaruh di antara penegaknya sendiri serta di antara sektor-sektor lain dalam masyarakat. Karena tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan sendiri keputusannya dan tidak dirumuskan secara tersendiri, maka perumusan hukum dan pandangan hukum mempunyai akibat yang sulit untuk ditelusuri secara mendalam, karena ruang lingkupnya yang luas dan pada umumnya saling berkaitan. Bahkan juga dalam masyarakat-masyarakat dengan lembaga-lembaga hukum yang dirumuskan secara lengkap dan jelas peranan sistem hukum dalam hal membentuk atau mencerminkan pola-pola sosial dan politik ikut pula mengacau-balauan kejelasannya dan ketergantungannya dari hal-hal lain.


Dari sinilah penulis tertarik untuk mengulas lebih dalam mengenai Law And Social Change. Bagaimana pemikiran hukum dalam masyarakat, apa saja faktor yang mempengaruinya, bagaimana proses perubahannya, dan apa hubungan keduanya.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Tentang Hukum Dalam Masyarakat
Pemikiran-pemikiran mendasar tentang hukum ini banyak diketengahkan oleh para tokoh dan ahli sosiologi, ahli hukum, ahli sosiologi hukum, dan tentunya para filsuf. Terdapat pemikiran mendasar mengenai hukum dalam masyarakat dikaitkan dengan interaksinya dalam hal perubahan “Law and Social Change”, yaitu:
a) Savigny dan Bentham
Kontroversi antara mereka yang beranggapan bahwa hukum seharusnya mengikuti dan bukan memimpin, serta harus tenang dalam menghadapi sentimen sosial yang telah dirumuskan dengan jelas; dan mereka yang berpendapat bahwa hukum harus merupakan faktor yang menentukan dalam menciptakan norma-norma baru; merupakan salah satu tema penting yang selalu terulang dalam sejarah pemikiran hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Hal itu telah digambarkan dengan jelas dengan adanya pendekatan-pendekatan yang saling bertentangan antara Savigny dan Bentham.
Bagi Savigny, seorang penentang yang gigih dalam kecenderungan rasionalisasi dan pembuatan hukum yang dirangsang oleh revolusi perancis, dimana dianut bahwa hukum itu “ditentukan dan bukannya dibuat”. Hanya apabila kebiasaan yang popular, yang diutarakan oleh ahli hukum telah menjadi sempurna, barulah badan perundang-undangan mengambil kebijaksanaan. Konsep Savigny tentang hukum dalam kehidupan sosial, barangkali akan mendapat pemahaman dalam mempelajari common law di Inggris dan hukum adat di Indonesia.
Sebaliknya Bentham, penganut yang kuat bagi pentingnya pembaharuan hukum yang disusun secara rasional. Mengabdikan sebagian besar hidupnya dalam pembuatan naskah perundang-undangan bagi banyak negara; mulai dari Czartal (Cran) di Rusia hingga negara-negara republic di Amerika Latin yang belum lama berdiri. Bentham melihat bahwa secara rasional, dimana hukum dalam kaitan hubungan social yang luas, juga dalam komunikasi antar negara, hukum itu dibuat oleh aparatur pemerintah negara, ia dibuat oleh pembuat undang-undang, dan dibuat oleh hakim dalam proses peradilan (judge made law). peranan legislatif ditampilkan dalam pembentukan hukum dan pembaharuan hukum. Sedangkan hukum yang hidup berkembang dalam arena pengadilan, ia lahir dalam yurisprudensi, sebagai terapan hukum yang telah diwarnai oleh kondisi dan perkembangan sosial.
b) Ehrlich
Dari pandangan berbeda antara Savigny dan Bentham tentang kelahiran hukum dalam dan bagi kepentingan masyarakat; antara hukum yang mengikuti (tutwuri handayani) disatu pihak dan hukum yang memimpin dan memiliki sifat memaksa yang antara keduanya kontroversial, maka lahir teori Ehrlich yang nampaknya dapat merangkum antara hukum yang hidup dan berkembang dalam kehidupan keluarga, tradisi keagamaan, perniagaan tatap-muka memperoleh pengakuan dan ditaati, walaupun tidak mendapat pengakuan atau diundangkan oleh negara. Ada hukum dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh yang berwenang dalam negara namun ruang lingkupnya hanya khusus yang menyangkut tujuan dan kepentingan negara, seperti bidang Hankam, Perpajakan, dan Administrasi Peradilan (Kepolisian).
Konsepsi Erhlich ini dapat dimanfaatkan dalam pendekatan hukum terhadap negara-negara yang mengalami dua dimensi hukum yang bisa member perwadahan untuk masyarakat tertentu termasuk Indonesia.
Norma hukum yang ditetapkan oleh yang berwenang (pembuat undang-undang) yang terutama menyangkut kepentingan kenegaraan merupakan “politik hukum negara”, sedangkan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dinamakan “kesadaran hukum masyarakat”.
Maka tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa Erhlich melihat hukum dalam masyarakat meliputi politik hukum negara dan kesadaran hukum masyarakat, yang karena dua sisinya ini bisa mengikuti perkembangan sosial yang dialamai negara-negara modern. Dalam hubungannya dengan usaha mempelajari interaksi antara perubahan hukum dan perubahan sosial yang berarti mempelajari pembaharuan hukum dan perubahan sosial yang terencana atau pembangunan suatu bangsa.

B. Faktor yang mempengaruhi terjadinya Perubahan Sosial
Bermacam-macam alasan dapat dikemukakan sebagai sebab timbulnya perubahan di dalam masyarakat. Terjadinya sebuah perubahan tidak selalu berjalan dengan lancar, meskipun perubahan tersebut diharapkan dan direncanakan. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya “Social Change” atau perubahan social, yaitu :
a) Karena ada proses innovation atau pembaruan.
Inovasi dipandang sebagai kreasi dan implementasi ‘kombinasi baru’. Istilah kombinasi baru ini dapat merujuk pada kebijakan dan sistem baru. Dalam inovasi dapat diciptakan nilai tambah dalam masyarakat luas. Oleh karenanya sebagian besar definisi dari inovasi meliputi pengembangan dan implementasi sesuatu yang baru. Sedangkan istilah ‘baru’ bukan berarti original tetapi lebih ke newness (kebaruan).
Kebaruan juga terkait dimensi ruang dan waktu. ’Kebaruan’ terikat dengan dimensi ruang artinya, suatu karya atau jasa akan dipandang sebagai sesuatu baru di suatu tempat tetapi bukan barang baru lagi di tempat yang lain. Namun demikian, dimensi jarak ini telah dijembatani oleh kemajuan teknologi informasi yang sangat dahsyat sehingga dimensi jarak dipersempit. Dengan demikian ’kebaruan’ relatif lebih bersifat universal. ’Kebaruan’ terikat dengan dimensi waktu. Artinya, kebaruan di jamannya. Jika ditengok sejarah peradaban bangsa Indoensia, maka pada jaman tersebut, pembangunan candi Borobudur, pembuatan keris oleh empu, pembuatan batik adalah suatu karya bersifat inovatif di jamannya.
b) Invention (penemuan teknologi di bidang industri, mesin dst).
Penemuan Teknologi banyak dipengarui oleh rasa tidak puas yang ada dalam diri manusia dapat menjadi sebab terjadinya perubahan. Ketidakpuasan menimbulkan reaksi berupa perlawanan, pertentangan, dan berbagai gerakan revolusi untuk mengubahnya. Misalnya pada zaman dahulu, petani membajak sawah mereka dengan menggunakan peralatan seadanya, kemudian lambat laun mempergunakan jasa hewan, dan pada saat ini, menggunakan peralatan teknologi.
Kondisi yang senantiasa berubah merangsang orang mengikuti dan menyesuaikan dengan perubahan. Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan akan membuat masyarakat selalu berpikir maju dan mendorong terciptanya penemuan-penemuan baru yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Penemuan baru di bidang teknologi tidak hanya memberikan tambahan kekayaan kebudayaan material melainkan juga menimbulkan kebutuhan untuk melakukan penyesuaian kepada pengguna hasil teknologi yang baru tersebut. Dengan adanya industry-industri baru menyebabkan terjadinya perubahan di dalam susunan masyarakat seperti munculnya golongan buruh.
c) Adaptation (adaptasi yaitu suatu proses meniru suatu cultur, gaya yang ada di masyarakat lain).
Ciri yang melekat pada masyarakat dalam perkembangannya adalah terjadinya diferensiasi. Melalui proses ini, suatu masyarakat mulai terurai ke dalam berbagai bentuk bidang spesialisasi yang masing-masing sedikit banyak mendapatkan kedudukan otonom. Oleh karena itu susunan masyarakat semakin kmpleks. Proses diferensiasi hanya akan menimbulkan perkembangan bagi sistem sosial yang bersangkutan, apabila diferensiasinya menimbulkan adaptasi yang lebih besar. Adapun dalam menghadapi adaptasi yang lambat, cukup dilakukan dengan melakukan perubahan-perubahan kecil-kecilan pada tataran peraturan yang ada, baik dengan cara mengubah maupun menambahnya.
d) Adopsim (ikut dalam penggunaan penemuan teknologi).

C. Proses Perubahan Sosial dan Hukum
a) Proses perubahan sosial
Membahas perubahan social tidak dapat lepas dari konteks filsafat barat yaitu suatu pandangan terhadap kemajuan manusia dalam masyarakat yang ditimbulkan oleh kemajuan masyarakatnya. Ilmu pengetahuan yang berasal dari barat ditopang oleh dua kelompok pemikiran utama yaitu filsafah yunani (Greek Philosophy) dan perilaku kehidupan kekristenan (Christiannity) yang sifatnya progresif dan perfection.
Dalam filsafah yunani, terdapat beberapa pemikiran yang sifatnya konsisten yang menghubungkan perilaku manusia dalam kehidupan keseharian. Sedangkan dalam konsepsi hidup kristiani, dinyatakan bahwa manusia sebagai individu tumbuh lewat arah serta pola tertentu. Gagasan berubah secara evolusionistic atau gradual melalui tahap-tahap tertentu yang disebut unilinier. Dalam pengkajian teori-teori klasik ada tiga tokoh utama yang membuat teori utama tentang perubahan kemasyrakatan yaitu Karl Marx , Emile Durkheim , dan Max Weber.
Menurut Roy Bhaskar (1984), perubahan social biasanya terjadi secara wacar (naturaly), gradual, bertahap serta tidak pernah terjadi secara radikal atau revolusioner. Proses perubahan social meliputi proses Reproduction dan proses Transformation.
Proses reproduction adalah proses mengulang-ulang, menghasilkan kembali segala hal yang diterima sebagai warisan budaya dari nenek moyang sebelumnya. Warisan budaya dalam kehidupan sehari-hari meliputi:
 Material (kebendaan dan teknologi)
 Immaterial (non-benda, adat, norma, dan nilai-nilai)
Roy Bhaskar menyatakan, reproduction berkaitan dengan masa lampau perilaku masyarakat, yang berhubungan dengan masa sekarang dan masa yang akan datang. Kondisi ini berlaku masyarakat dunia,yang menerima perubahan sebagai proses kematangan sehingga sebenarnya perubahan social akan berjalan dengan menapak sebagai penahapan model kematangan perilaku masyarakat dari suatu masa ke masa yang lain. Reproduction dapat diamati dari kemajuan bidang teknologi, peralatan Hitech, misalnya akan memiliki basis teknologi yang telah dikembangkan terlebih dahulu.
Proses Transformation adalah suatu proses penciptaan hal yang baru (something new) yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (tools and technologies). Perubahan tersebut adalah aspek budaya yang bersifat material, sedangkan yang bersifat norma dan nilai sulit sekali diadakan perubahan (bahkan ada kecenderungan untuk dipertahankan).
Menurut kalangan sejarawan inggris, hanya bangsa yang mampu menjawab tantanganlah yang akan tetap eksis di dunia. Sedangkan bangsa yang tidak berani menjawab tantangan akan selalu tergilas dalam proses perubahan. Teori modernisasi barat berasal dari akumulasi budaya dan teknologi barat (Industrialisasi) yang dapat mengubah hal-hal yang berisi tradisi seperti norma, dll. Dalam proses perubahan sosial, dunia ketiga dapat meniru perubahan daari dunia kedua, sedangkan dunia pertama terjadi perubahan yang sangat alamiah, salah satu kekuatannya terjadi karena kekuatan modal.
b) Proses perubahan hukum
Teori yang dikembangkan oleh seorang yuris Austria, bernama Eugen Ehrlich, ia membedakan antara hukum yang hidup yang didasarkan pada perikelaku sosial, dengan hukum memaksa yang berasal dari negara. Dia menekankan bahwa hukum yang hidup lebih penting daripada hukum negara yang ruang lingkupnya terbatas pada tugas-tugas negara. Padahal hukum yang hidup mempunyai ruang lingkup yang hampir mengatur semua aspek kehidupan masyarakat. Dari penjelasannnya di atas jelas terlihat bahwa Ehrlich pun menganut faham bahwa perubahan-perubahan hukum selalu mengikuti perubahan-perubahan sosial lainnya.
Di dalam suatu proses perubahan hukum, maka pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat merubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum (badan legislatif), badan-badan penegak hukum dan badan-badan pelaksana hukum (badan eksekutif).
Menurut John C. Wahlke yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya Hukum, Masyarakat dan Pembangunan memerinci unsur peranan dari legislatif. Dalam peranan inti, disamping adanya suatu posisi lawan (counter position) dimasukkan norma-norma yang memberi pedoman kepada para legislator dalam hubungannya satu sama lain dan dalam kedudukannya sebagai sesama anggota legislatif di dalam masyarakat. Sedangkan ke dalam posisi lawan dimasukkan norma-norma yang memberi pedoman pada kelakuan legislator dalam hubungannya dengan pihak-pihak luarnya.
Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-badan peradilan yang menegakkan hukum serta adanya badan-badan yang menjalankan hukum, merupakan ciri-ciri yang terutama terdapat pada negara-negara modern. Pada masyarakat sederhana mungkin hanya ada satu badan yang melaksanakan ketiga fungsi tersebut. Akan tetapi baik pada masyarakat modern ataupun sederhana, ketiga fungsi tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui mana hukum mengalami perubahan-perubahan.

D. Hubungan Antara Hukum dan Perubahan Sosial
Hukum pada umumnya memakai bentuk tertulis, dengan pemakaian bentuk tertulis, kepastian hukum lebih terjamin. Namun dengan hukum yang seperti itu, terdapat kesulitan untuk melakukan adaptasi yang cukup cepat terhadap perubahan di sekelilingnya. Karena bentuknya yang tertulis, hukum menjadi kaku. Singkatnya pada hukum tertulis mudah tercipta kesenjangan antara peraturan hukum dengan yang diaturnya.
Di samping perubahan sosial dapat menyebabkan perubahan hukum, di sisi lain hukum pun dalam proses kerjanya dapat mempengarui dan merubah tingkah laku masyarakat. Menurut Satjipto Rahardjo ada dua fungsi kerja hukum dalam hubungannya dengan perubahan sosial, yakni hukum sebagai sarana untuk melakukan kontrol sosial (social control) dan hukum sebagai sarana social engineering.
Sebagai social control hukum berfungsi sebagai sarana untuk mempengarui masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol Sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktifitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasi secara politik melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. Menurut Eman Sulaeman dalam makalahnya yang berjudul Batas-Batas Kemampuan Hukum Dalam Menghadapi Perubahan Sosial (2002) aspek pekerjaan hukum sebagai social control bersifat statis yaitu sekedar memecahkan masalah yang dihadapkan kepadanya secara konkrit.
social engineering, dalam fungsinya tidak hanya ditujukan kepada pemecahan yang ada, melainkan berkeinginan untuk menciptakan perubahan-perubahan dalam tingkah laku anggota masyarakat. Hukum sebagai sarana social engineering adalah penggunaan secara sadar untuk mencapai suatu tata tertib atau keadaan masyarakat yang diinginkan. Kemampuan seperti ini biasanya hanya dilekatkan pada hukum modern sebagai lawan dari hukum tradisional.




BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa antara hukum dan perubahan sosial tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran Ehrlich yang menggabungkan dua pandangan hukum Savigny dan Bentham, yaitu hukum tumbuh dan hidup dalam masyarakat serta dibuat oleh aparat yang berwenang dan lahir dalam peradilan.
Hukum dan perubahan sosial memiliki hubungan timbal balik dan saling mempengarui. Satu sisi hukum dapat beradaptasi atau dipengarui oleh perubahan sosial, di sisi lain hukum pun pada suatu ketika dapat mempengarui, melakukan control serta melakukan perubahan terhadap tingkah laku anggota masyarakat agar sesuai dengan kehendak dan cita-cita yang diinginkan.
Bentuk hukum yang tertulis menjadikan hukum sebagai sesuatu yang kaku. Singkatnya pada hukum tertulis mudah tercipta kesenjangan antara peraturan hukum dengan yang diaturnya.


BAB IV
PENUTUP

Demikianlah makalah ini penulis buat, dengan harapan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Mengingat segala keterbatasan yang ada pada penulis dalam penyusunan makalah ini, sehingga masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Wallahu’alam bi as-shawab.




DAFTAR PUSTAKA
Adair, J. 1996, Effective Innovation How to Stay Ahead of the Competition (London: Pan Books)
Dirdjosisworo, Sudjono, 1983, Sosiologi Hukum Studi Tentang Perubahan Hukum dan Sosial, ed I (Jakarta: CV Rajawali)
Eman Sulaeman, Batas-Batas Kemampuan Hukum Dalam Menghadapi Perubahan Sosial, dalam makalah Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2002
Peters, A.A.G dan Koesriani Siswosoebroto, 1988, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum, buku I (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan)
Rahardjo, Satjipto, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan (Bandung: Penerbit Alumni)
, Hukum, dan Masyarakat (Bandung: Angkasa) tth.
Salim, Agus, 2002, Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana)
http://www.eim.net/pdf-ez/H200303.pdf. Tanggal 21 April 2010

http//www.faktor-faktor-yang-mempengaruhi perubahan sosial. Ahad, 28 Juni 2010