Jumat, 16 Juli 2010

putusnya perkawinan

A. Pendahuluan
Perceraian diibaratkan seperti sebuah pembedahan yang menyakitkan. Manusia yang berakal harus menahan rasa sakit akibat dari luka perceraian. Dia bahkan sanggup diamputasi untuk menyelematkan bagian tubuh lainnya sehingga tidak terkena luka atau infeksi yang lebih parah. Jika perselesihan antara suami dan istri tidak juga reda, dan jalan rujuk (berdamai kembali) tidak dapat ditempuh, maka perceraian adalah jalan yang menyakitkan yang harus dijalani.
Islam tidak menetapkan hukum perceraian melainkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan suami-istri serta kehidupan keluarga dan masyarakat.
Dari pendahuluan di atas membuat penulis tertarik untuk menjelaskan secara terperinci tentang putusnya perkawinan, sehingga perceraian tidak dilakukan seenak diri sendiri.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan penulis paparkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Sebab putusnya perkawinan
b. Hukum talak
c. Orang yang berhak menjatukan talak
d. Prosedur pengajuan talak

C. Pembahasan
a) Sebab Putusnya Perkawinan
Pada dasarnya sebuah perkawinan yang dilakukan bertujuan untuk selama-lamanya. Tetapi ada beberapa sebab tertentu yang mengakibatkan ikatan perkawinan yang dijalani antara suami dan istri tidak dapat diteruskan.
Ditinjau dari pandangan Hukum Islam, putusnya sebuah perkawinan dikarenakan antara lain (a) kematian (b) talak (perceraian) dan, (c) fasakh. Dan sebagainya yang berhubungan dengan perceraian.
Kematian suami atau istri dapat mengakibatkan sebuah perkawinan putus dengan sendirinya yaitu terbilang sejak terjadinya kematian. Adapun bagi Istri yang ditinggal mati oleh suaminya harus menjalani masa berkabung (iddah) selama 4 bulan 10 hari. Sedangkan putusnya sebuah perkawinan dengan jalan fasakh yaitu merusak atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung. Hal ini dapat disebabkan dua hal. Yaitu:
 Adanya hal-hal yang dapat membatalkan akad nikah yang telah dilakukan. Misalnya : antara suami dan istri ternyata saudara susuan.
 Karena terjadi hal yang baru setelah akad nikah. misalnya salah satu dari suami atau istri keluar dari agama Islam (murtad).
Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), masalah perkawinan telah dijelaskan secara terperinci dalam buku 1 yaitu tentang Hukum Perkawinan. Sedangkan putusnya perkawinan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 113 (KHI) dikatakan bahwa sebuah perkawinan dapat putus karena tiga hal yaitu (a) kematian, (b) perceraian dan (c) atas putusan pengadilan.
Putusnya sebuah perkawinan yang disebabkan oleh perceraian dapat terjadi kerena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Hal ini dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 114. Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti melepaskan suatu ikatan atau membatalkan suatu perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari berkumpul). Kemudian para ahli Figh memakai kedua istilah tersebut sebagai satu istilah, yang mempunyai arti perceraian antara suami-isteri.
Maksud dari definisi talak yaitu melepaskan suatu ikatan perkawinan adalah Apabila dalam rumah tangga hubungan yang terjadi antara suami dan istri tidak mencapai tujuan dari pernikahan itu sendiri, yakni membentuk rumah tangga yang harmonis dan bahagia misalnya suami atau istri tidak menjalankan kewajiban atau salah satu diantara mereka menyeleweng sehingga tidak ada kecocokan lagi dan tidak dapat didamaikan maka jalan keluar satu-satunya ialah talak atau perceraian.
Suatu peceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak yaitu istri dan suami. Adapun alasan-alasan dapat dilakukan perceraian tercantum dalam pasal 116 diantaranya adalah:
 Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sembagainya yang sukar disembunyikan.
 Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
 Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
 Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihak yang lain.
 Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakitt dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
 Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
 Suami melanggar taklik-talak
 Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

b) Hukum Talak
Talak merupakan jalan yang disyariatkan dalam agama islam, namun menjatuhkan talak tanpa sebab sangat dibenci Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحِمْصِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ الْوَصَّافِىِّ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ الطَّلاَق.

artinya : “Dari Ibnu Umar, katanya, telah bersabda Rasulullah SAW, Sesuatu yang halal namun amat dibenci Allah ialah talak.” (HR. Ibnu Majjah).

Berdasarkan kemashlahatan atau kemudaratannya, hukum talak itu ada empat, yaitu:
a. Wajib menurut madzab Hambali yaitu talak yang bertujuan untuk mengakhiri konflik yang terjadi antara suami dan istri, jika masing-masing melihat bahwa talak adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri perselisihan atau dapat pula dikatakan talak yang bertujuan untuk mengahiri syiqaq, apabila kedua-dua hakam berpendapat bahwa talak itulah yang harus dilakukan. Misal antara suami dan istri terjadi perselisihan dan hakim memandang perlu keduanya untuk bercerai atau suami tidak mampu untuk memenuhi hak-hak istri sebagaimana mestinya.
b. Talak Sunah diperbolehkan apabila bertujuan untuk menghindari bahaya yang mengancam salah satu pihak baik itu suami maupun istri. Maksunya apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya atau istri tidak menjaga kehormatannya.
c. Haram yaitu talak bid’y (talak bid’ah). Talak yang dilakukan bukan karena adanya tuntutan yang dapat dibenarkan, karena hal itu akan membawa madharat bagi diri sang suami dan juga istrinya serta tidak member kebaikan bagi keduanya. Misalnya apabila suami ketika menjatuhkan talak, si istri dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci tapi telah dicampurinya.
d. Makruh apabila tidak dengan alasan yang dibenarkan oleh syara’.
Adapun talak mubah diperbolehkan apabila seorang suami tidak membutuhi istri dan mereka keberatan pula memikul belanja istri sedang maksud istimna pun tidak ada. Dalam hal ini, Imamul Haramaini tidak memakruhkan, sedangkan menurut An-Nawawy talak mubah tidak ada.

c) Hak menjatukan Talak
Hukum Islam menentukan bahwa hak talak sepenuhnya ada pada suami. Alasannya pada umumnya seorang laki-laki atau suami lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada seorang wanita atau istri yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan mempertimbangan hal-hal tersebut, diharapkan suatu perceraian terjadi akan lebih kecil kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri.

Di samping alasan-alasan tersebut, ada beberapa alasan lain yang memberikan wewenang atau hak talak pada suami, antara lain:
a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri waktu dilaksanakan akad nikah.
b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan dianjurkan membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada isterinya) setelah suami mentalak isterinya.
c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia mentalaknya.
d. Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan pada suami.
Seperti yang telah kita ketahui, pada dasarnya talak adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan atau dibenarkan, maka seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut bisa terdapat pada diri suami, isteri, dan sighat talak.
a. Syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talak ialah:
 Berakal sehat, dalam menjatuhkan talak seorang suami tersebut harus dalam keadaan berakal sehat, apabila akalnya sedang terganggu. Misalnya: orang yang sedang mabuk atau orang yang sedang marah tidak boleh menjatuhkan talak.
 Telah baliqh, para ahli Fiqh sepakat bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talak ialah telah dewasa atau baliqh.
 Tidak karena paksaan, seorang suami dalam menjatuhkan talak berdasarkan atas kehendak sendiri bukan karena terpaksa atau ada paksaan dari pihak ketiga.
b. Syarat-syarat seorang isteri supaya sah ditalak suaminya ialah:
 Isteri telah terikat dengan perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila akad-nikahnya diragukan kesahannya, maka isteri itu tidak dapat ditalak oleh suaminya.
 Isteri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya dalam waktu suci itu.
 Isteri yang sedang dalam keadaan hamil.
c. Syarat-syarat pada sighat talak
Sighat talak ialah perkataan atau ucapan yang diucapkan oleh suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak pada isterinya. Sighat talak ini ada yang diucapkan langsung, seperti “saya jatuhkan talak saya satu kepadamu”. Adapula yang diucapkan secara sindiran (kinayah), seperti “kembalilah ke orang tuamu” atau “engkau telah aku lepaskan daripadaku”. Ini dinyatakan sah apabila:
 Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talak pada isterinya.
 Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan talak kepada isterinya. Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan talak kepada isterinya maka sighat talak yang demikian tadi tidak sah hukumnya.
Mengenai saat jatuhnya talak, ada yang jatuh pada saat suami mengucapkan sighat talak (talak “munziz”) dan ada yang jatuh setelah syarat-syarat dalam sighat talak terpenuhi (talak “muallaq”)

d) Prosedur Pengajuan Talak
Seorang suami yang ingin mengajukan talak, maka harus mematuhi prsedur pengajuan talak. Adapun prosedur pengajuan talak dijelaskan dalam KHI pasal 129 dan 131 yaitu:
a. Seorang suami yang akan menjatukan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
b. Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan yang dimaksud oleh pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatukan talak.
c. Setelah pengadilan agama tidak bisa menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatukan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan agama menjatukan keputusannya tentang izin bagi suami mengikrarkan talak.
d. Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan agama yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.
e. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo enam bulan terhitung sejak putusan pengadilan agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
f. Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isrti. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikiramkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.





D. Kesimpulan
Dari penjelasan yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya Putusnya perkawinan menurut hukum islam disebabkan karena kematian, talak dan fasakh. Sedangkan menurut KHI disebabkan karena kematian, talak (perceraian) dan putusan pengadilan.
Secara syariat agama perceraian diperbolehkan namun syara’ juga memberikan batasan yang ketat agar perceraian tidak menjadi hal yang begitu mudah dilakukan. Oleh karena itu perceraian menjadi sebuah ultimatum remindium (solusi terakhir) dalam pengambilan sebuah keputusan. Hal ini dimaksudkan agar suatu ikatan perkawinan yang suci tidak disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dalam proses perceraian, hak talak dimiliki oleh si suami dengan alasan seorang laki-laki dalam mengambil keputusan lebih mengutamakan logikanya dibandingkan dengan si istri yang dalam bertindak lebih mengedepankan emosinya.

E. Penutup
Demikianlah makalah ini penulis hadirkan kepada pembaca yang budiman. Tentunya dalam makalah ini masih banyak kekurangan baik isi maupun penulisannya. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sebagai evaluasi untuk perbaikan makalah selanjutnya.









DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Moh, 1979, Fiqh Islam Muamalah, Munakahat, Faraid & Jinayah (Hukum Perdata & Pidana Islam) Beserta Kaidah-Kaidah Hukunya, Cet I. Bandung: Al-Maarif
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 2001, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 8, cet III. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Maajah dan Abu Abdullah Muhammad, Sunan Ibnu Maajah Juz 6 (Mesir: Mauqi’u wa zaarah al-Auqaaf) tt,
Qaradhawi , Yusuf, 2007, Fiqh Wanita Segala Hal Mengenai Wanita, cet II Bandung: Jabal
Uwaidah, Kamil Muhammad, 2008, Fiqh Wanita Edisi Lengkap, Cet I (akarta Timur: Pustaka Al-Kautsar
Kompilasi Hukum Islam Indonesia Undang-Undang Repoblik Indonesia No 1 Tahun 1974 tantang Perkawinan dan Penjelasannya. cet 1, diterbitkan oleh Trinity, 200
http://ardychandra.wordpress.com/2008/09/06/putusnya-perkawinan-berdasarkan-hukum-islam/senin, senin 3 mei 2010
http://www.small2law.co.cc/2010/04/pengertian-putusnya-perkawinan.html, senin, 3 mei 2010
http://listianash.wordpress.com/2009/09/06/putusnya-perkawinan, Selasa 20 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar